Politik Identitas Picu Kebencian Etnis dan Agama, Malaysia Terancam Bubar

Malaysia Terancam Bubar


Haluanrepublika.com - Politik identitas telah mengancam persatuan Negara Federasi Malaysia. Pemaksaan dari model politik etnis Melayu telah membuat negara jiran ini berantakan. Di Malaysia Timur, politik identitas ini sangat kencang, dan terus dilawan oleh etnis Dayak dan non-Muslim di dua negara bagian Malaysia di Pulau Kalimantan, yakni Sabah dan Sarawak.


Apalagi, kebijakan Pemerintah Malaysia selama ini dianggap tak adil dari berbagai sisi bagi dua wilayah kaya penghasil minyak, gas dan sawit ini. Di negara ini, persaingan kuat dilaporkan terus terjadi antara etnis Melayu vs Tionghoa di bidang pemeirntahan dan swasta. Kompetisi yang juga berlangsung kasar dan transparan ini, menyasar pula kalangan etnis India sebagai pendatang dan juga Dayak sebagai etnis asli Pulau Borneo.


Pada Senin, 10 Oktober 2022 sore, Perdana Menteri (PM) Ismail Sabri Yaakob mengumumkan pembubaran Parlemen Malaysia. Menurut PM Malaysia, tujuan pembubaran parlemen tersebut adalah untuk mengembalikan mandat kepada rakyat mengingat ketidakstabilan politik di negara ini. Ketidakstabilan ini, tegas PM Malaysia, terus terjadi setelah tiga kali pergantian pemerintahan dalam kurun waktu dua setengah tahun. Adapun pembubaran Parlemen Malaysia ini dipicu pula oleh krisis ekonomi dan bencana banjir.


Pembubaran parlemen ini juga telah mengakhiri spekulasi yang telah berkembang sejak akhir September 2022. Dengan pembubaran DPR Malaysia maka rapat Dewan Rakyat, yang dijadwalkan 32 hari dalam sidang akhir 2022, dibatalkan.


Ketua Dewan Rakyat Azhar Harun menyatakan, semua kegiatan, sesi dan pertemuan terkait yang dijadwalkan sebelumnya, juga dibatalkan. Demikian kantor berita Pemerintah Malaysia, Bernama, sebagaimana dilansir Free Malaysia Today, yang melaporkan dari Petaling Jaya.


"Saya telah menerima proklamasi pembubaran parlemen," tegas Harun dalam pernyataan resmi. Pembubaran parlemen ini ditandatangani oleh Yang di-Pertuan Agong, Sultan Abdullah Sultan Ahmad Shah, sesuai dengan Pasal 55 (4) Konstitusi Federal. Proses penyelenggaraan pemilihan umum ke-15 sekarang akan berada di bawah yurisdiksi Komisi Pemilihan," lanjutnya.


Adapun pertemuan Parlemen Malaysia ke-14 yang dimulai pada Senin, 3 Oktober 2022, telah berlangsung lima hari. Selama pertemuan, anggaran pemerintah federal untuk tahun 2023 diajukan oleh Menteri Keuangan Tengku Zafrul Aziz. Anggaran baru akan diajukan oleh pemerintah yang akan datang setelah pemilihan umum, Partai Gabungan Sarawak Setuju.


Sementara itu. seorang pemimpin Gabungan Parti Sarawak setuju atas keputusan membubarkan parlemen dan mengadakan pemilihan umum (GE15) 2022. Menurut anggota parlemen Santubong Wan Junaidi Tuanku Jaafar. "Ini dibenarkan mengingat resesi ekonomi yang telah diperkirakan untuk 2023," katanya.


Wan Junaidi menyatakan, sudah saatnya mengembalikan amanat kepada rakyat. "Rakyat berhak memilih siapa yang mereka inginkan untuk memimpin negara selama lima tahun ke depan. Secara umum, ekonomi 2023 tidak akan berpihak pada pemerintah, terutama pada akhir kuartal pertama," katanya kepada Free Malaysia Today.


"Dari pengamatan saya, tidak ada negara di dunia yang mau masuk ke situasi (melakukan pemilihan umum) di mana keadaan ekonomi tidak mendukungnya," lanjutnya.


Wan Junaidi mengatakan, menteri hukum di Kabinet Perdana Menteri Ismail Sabri Yaakob, juga menunjukkan, banyak pemimpin dunia telah menyoroti resesi ekonomi tahun depan. "Saya menduga Ismail sedang melihat skenario ini. Karena itu, lebih baik kembalikan amanat kepada rakyat," ujarnya.


Sementara Ketua Gabungan Rakyat Sabah (GRS) Hajiji Noor menyatakan, semua komponen bersatu menghadapi GE15.Dia menambahkan bahwa mereka telah mencapai beberapa kesepakatan, termasumenggunakan logo bersama. Dalam sebuah pernyataan, Menteri Utama Sabah ini juga menyatakan, mesin pemilihan GRS di tingkat negara bagian dan parlemen siap diaktifkan.


Warga Sarawak dilaporkan 'akhirnya memiliki kesempatan' untuk memperjuangkan apa yang menjadi hak mereka. Hal ini sesuai dengan Perjanjian Malaysia 1963 (MA63), karena GE15 sudah dekat, dilansir The Borneo Post, mengutip pernyataan Wakil Perdana Menteri Sarawak Dr Sim Kui Hian.


Sim menyatakan, hak-hak ini termasuk otonomi pendidikan, memiliki sepertiga dari 222 kursi parlemen yang disisihkan untuk Sabah dan Sarawak. "Juga bagian yang lebih besar dari 'alokasi keuangan yang sah' dari negara," ujarnya.


Dengan ketidakpastian global yang sedang berlangsung, menurut Sim, Malaysia membutuhkan pemerintahan yang kuat dan stabil. "Kami tidak membutuhkan tiga perdana menteri dalam lima tahun. Cukup dengan politik sehari-hari, perpecahan dan kebencian," katanya.


Masih pada Senin, Perdana Menteri Malaysia menyatakan, parlemen akan dibubarkan hari ini untuk membuka jalan bagi GE15. Adapun etnis Dayak dan non-Melayu di Malaysia Timur yakni di Sabah dan Sarawak, terus melakukan perlawanan atas perlakuan politik ras dan agama etnis Melayu. Merasa sebagai dominan di negara tersebut, etnis Melayu memberlakukan model 


Politik ras dan agama Melayu, yakni Islam.


Pemaksaan 'Ketuaan Melayu' bahwa Islam harus mendominasi jabatan politik dan administrasi di Malaysia Timur adalah akibat langsung dari Malaya. Orang Malaya alias Melayu mendorong ideologi 'Ketuanan Melayu'. Politik ini terus berupaya memasukkan dua negara bagian Sabah dan Sarawak ke dalam sistem politik mereka. Para tokoh Dayak di Negara Bagian Sabah dan pengamat politik Malaysia pun menuntut supaya jabatan gubernur tidak harus Muslim.


Karena itu, James Chin dari Institut Asia Universitas Tasmania mengecam penolakan etnis Melayu atas penunjukan Joseph Pairin Kitingan.Karena bukan Muslim, politikus etnis Dayak yang beragama Islam ini dianggap tak layak menjabat Gubernur Sabah. Menurutnya, Kitingan adalah pilihan yang cocok untuk Gubernur Sabah, dilansir Free Malaysia Today, Selasa, 4 Oktober 2022.


Analis politik ini menegaskan, Gubernur Sabah tidak harus seorang Muslim, karena tidak ada persyaratan agama untuk jabatan itu. Hal ini ditegaskan menanggapi perdebatan yang sedang berlangsung di media sosial Malaysia terkait postingan tersebut. Chin menggambarkan penolakan terhadap penunjukan Kitingan karena bukan Muslim sebagai 'sampah total'.


Dalam praktiknya, menurut Chin, satu-satunya persyaratan hukum adalah kandidat itu harus dicalonkan pemerintah negara bagian, yakni Menteri Utama Sabah. "Kemudian, naik ke Yang di-Pertuan Agong,” katanya.


Secara historis, lanjutnya, telah ada diskusi untuk berbagi jabatan kepala menteri dan gubernur negara bagian.Hal ini dalam konteks Sabah, berarti bagi penduduk asli Muslim dan non-Muslim. "Tetapi, ini belum dikodifikasikan ke dalam dokumen hukum apa pun," tegas Chin.


Masih secara historis, Menteri Utama pertama Sabah adalah Donald Aloysius Stephens.Pada saat pengangkatannya, Stephens beragama Kristen, sedangkan gubernur pertama Sabah adalah Mustapha Harun. "Beliau (Harun) adalah seorang Muslim, jadinya seimbang," ujarnya.


Hal yang sama, menurut Chin, berlaku untuk Negara Bagian Sarawak."Di mana pembahasannya adalah jika seorang Dayak menjadi menteri utama, gubernurnya akan berasal dari etnis lain. Dengan demikian, Stephen Kalong Ningkan menjadi menteri utama pertama, (sementara) gubernur pertama adalah Tun Abang Haji Openg," katanya.


Chin menambahkan bahwa seperti kebanyakan perjanjian politik, itu tidak dikodifikasikan menjadi undang-undang.Chin lebih lanjut menegaskan dukungan atas pencalonan Kitingan sebagai Gubernur Sabah. "Karena menurut saya, sangat penting bagi negara-negara bagian Kalimantan. Ini untuk memperkuat pendekatan multiras mereka terhadap politik," lanjut Chin.


Menurutnya, model politik ras dan agama Melayu harus dilawan. Ini bisa dilakukan dengan membagi jabatan gubernur, jabatan puncak seremonial, dan kepala menteri. "Juga untuk jabatan politik teratas, di antara berbagai komunitas politik adalah simbol kuat untuk melawan model politik ras dan agama Melayu," tegasnya.


"Ini adalah politik yang baik, serta memastikan semua orang termasuk dalam mosaik yaitu Sabah dan Sarawak. Jika kita memainkan permainan politik ras atau agama, kita akan berakhir seperti Malaya, secara politis. Ringkasnya, pemilihan gubernur adalah pilihan politik 110 persen," tandas Chin.***